Bagimu Sekadar, tapi Bagiku Besar

Sekadar-kadarnya, Sebesar-besarnya

Caraku Merayakan Sebuah Kegagalan

Secuplik video amburadul yang sempat kurekam, tapi sebagian besar hilang dan tak sempat aku abadikan di penyimpanan awan yang juga akhirnya membuatku belajar arti mengikhlaskan. Semua dataku hilang, termasuk catatan tentang kehadiranmu di bunga tidurku yang hampir selalu tidak pernah lupa kuabadikan, meski kadang isinya tak aku ingat, tapi aku tahu bahwa kamu berkunjung ke sana. mhm… seperti pungguk merindukan bulan.

Beberapa hari lalu, tiba-tiba seluruh catatanku tersinkronisasi secara otomatis. Semuanya kembali lagi tanpa ada satu kata pun yang hilang. Tentangmu kembali (lagi) utuh di saat aku sedang dalam keadaan separuh. Saat aku berhasil keluar dari luka yang kubuat sendiri, di sisi lain aku (sempat) menemukan “tempat” yang awalnya kukira akhir dari perjalanan panjang selama ini, tapi ternyata aku salah, lagi.

Kalau ada yang bilang patah hati terhebat adalah saat putus cinta dengan sang pujaan hati, aku mungkin tidak sepenuhnya setuju. Nyatanya, cerita yang tidak pernah dimulai, tetapi harus berakhir begitu saja jauh lebih menyakitkan. Terlebih, saat tokohnya belum menuntaskan cerita pada bab sebelumnya. Aku hanya menjadi bayang-bayangnya di sisa masa trauma dan pemulihannya, didatangi kala sepi atau seolah dijadikan opsi kedua. Entahlah.

Untuk kedua kalinya, Na. Aku jatuh sendirian, sedalam ini. Di 2023, aku seperti mengulang cerita di tahun 2019. Tidak pernah terbesit sedikit pun untuk menyalahkan siapa pun, baik itu kamu ataupun dia. Ini sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Aku yang bertanggung jawab atas pilihanku, tapi beberapa memang di luar kendaliku dan aku harus berdamai dengan semua itu . Aku yang memiliki kuasa untuk mengendalikan perasaanku— meski tertatih dan bergelimang air mata tiap kali merebahkan segala harap dan pinta yang berkutat di kepala.

Tak jarang, aku sering merasa bersalah saat bunga ini hampir layu, beberapa tak kenal lelah datang membawakan air dan mencoba merawat dan menyiraminya setiap hari dengan penuh sukacita. Namun, bunga itu tetap tidak kunjung tumbuh. Mungkin belum, ya. Proses katanya. Nyatanya, aku hanya diselimuti rasa bersalah. Aku merasa jadi orang paling jahat seolah berpura-pura menyambut dengan hangat meski sudah mencoba sedingin salju di Finlandia. Aku benci akan hal itu karena aku tahu betul rasanya dan aku tidak mau orang-orang itu juga ikut merasakannya.

Aku masih terpaku pada tempat di mana aku jatuh, aku belum sepenuhnya sembuh karena luka itu belum sempat dibersihkan, tapi sudah terpaksa dibalut oleh perban. Masih membekas dan belum berhasil hilang meski berbagai pengobatan sudah coba kulakukan.

Aku sering bertanya, mengapa orang semudah itu mengatakan sesuatu yang bahkan tidak ia ingat setelahnya(?) Lalu aku tersadar,

“Oh, ya. Kita ini manusia, makhluk pelupa. Entah karena memang tidak ingat atau karena tidak cukup penting baginya. Atau kalimat itu hanya sebagai penenang sementara saja.”

Hari ini, kudengar kabar bahagia. Papan tulis putih itu, iya. Pukul 09.00 nanti kamu akan tegar berdiri, menuntaskan masa studimu di almamater biru. Aku, di sini, cum ikut berdiri. Seraya mengucapkan semangat dan selamat meskipun hanya di dalam hati. Hai, kamu selangkah lebih maju. Terus berjalan hingga kamu sampai pada tujuanmu, ya.

Percayalah, aku akan selalu mendukungmu. Hari ini, esok, dan seterusnya. Aku pun hendak berterima kasih padanya, semoga ia datang dan tak lupa mendokumentasikan momen terbaikmu. Akhirnya kamu menemukan sosok rumah yang ramah yang sejak dulu kau nantikan, meski sempat berpindah sementara. Aku tidak sabar menantikan cerita indah lainnya. Nantikan ceritaku juga, ya!


Dariku yang turut berbahagia,

Matahari🌻

3 Agustus 2023

Comments

Popular Posts