Reviu Buku: TRAVELERS’ TALE—  "Belok Kanan, Barcelona!"

Kadang, kalau habis baca buku atau tonton film, gak jarang pengin banget bisa jadi sosok pemeran/tokoh yang ada di buku/film tersebut. Kalian pernah merasakan hal yang sama?

Prelude

Baru-baru ini, aku menyelesaikan sebuah novel berjudul “TRAVELERS’ TALE— Belok Kanan, Barcelona!”


FYI, novel ini pemberian dari Ica, sepupuku. Hadiah ulang tahun(nya). Dia beli beberapa buku untuknya dan katanya (novel ini) buatku. Terima kasih, Cuy.🫶🏻

Novel ini terbitan dari GagasMedia, memiliki x + 230 halaman, berukuran 13 × 19 cm dengan cetakan pertamanya pada 2007, dan novel yang aku baca ini sepertinya cetakan ketujuh yang diterbitkan pada 2018.

Kabarnya, novel ini juga dangkat menjadi sebuah film yang sudah tayang pada tahun 2018 selaras dengan judulnya, “Belok Kanan, Barcelona!” yang bisa ditonton di Netflix, Amazon Prime Video, atau Video, loh!

“Don’t judge a book (just) by the cover” itu benar, ya.

Disclaimer dulu kali, ya.

Teruntuk penulis buku ini (Kak Aditya Mulya, Kak Alaya Setya, Kak Iman Hidajat, dan Kak Ninit Yunita), aku minta maaf banget sebelumnya.

Awalnya, aku sempat understimate, “Ini novel apaan, ya. Kayaknya gak seru deh, pasti tentang jalan-jalan atau backpacker-an doang (karena aku baru lihat halaman sampul depannya aja hehe)."

Ternyata, aku salah besar. Novel ini apik banget. Dibaca saat momen santai, di perjalanan, saat duduk di halaman rumah sembari menikmati secangkir kopi saat fajar terbit atau senja menyapa di sore hari, dan kebetulan aku bacanya saat sebelum tidur. Ternyata se-asyik itu.

Novel ini bercerita tentang perjalanan empat orang (2 laki-laki dan 2 perempuan) yang bersahabat sedari kecil. Aku salut banget sama penulis-penulis buku ini. Mereka piawai sekali dalam mengolaborasikan cerita perjalanannya (dari negara yang berbeda) menjadi satu kesatuan yang padu. It’s such an amazing idea. Bayangkan:

  • Retno di Copenhagen-Denmark
  • Farah di Vietnam,
  • Ucup di Cape Town-Afrika Selatan, dan
  • Francis di Barcelona.

Spoiler dikit, tapi gak dikit banget.

Ada empat tokoh utama yang diceritakan, yakni: Jusuf Hasanuddin (Ucup), Farah Babedan (Farah), Francis Lim (Francis), dan Retno Wulandari (Retno).

Francis, seorang pianis yang mahir dan cerdas. Ucup, sosok yang suka ngebanyol dan memang selalu bisa kasih suasana kocak saat muncul di tiap percakapan. Farah, si cantik yang berparas ke-Arab-Araban dan mata indahnya berwarna biru. Lalu, ada Retno — sosok yang ayu, lengkap dengan lesung pipitnya yang manis dibalut senyumnya yang menawan hati.

Lucunya, kisah mereka cukup complicated karena bukan lagi tentang cinta segitiga, tapi cinta segiempat. AHAHAHA. Iya, buku ini bahas seputar perjalanan, persahabatan, dan cinta.

Singkatnya, Ucup suka Farah, tapi Farah suka Francis. Sayangnya, Francis suka sama Retno, tapi Retno(?)

Enggak, enggak. Retno gak suka sama Ucup, awalnya. Francis yang cintanya ditolak dua kali oleh Retno karena berbeda prinsip dan keyakinan menjadi sebuah alasan yang tak terbantahkan meskipun keduanya punya perasaan yang sama sebetulnya. Ya, mereka terhalang tembok yang amat sangat tinggi dan akhirnya Francis mencoba move on dengan (berencana) menikahi gadis cantik bernama Inez asal Barcelona yang ia kenal sejak Music Concervatory.

Diksi-diksi yang digunakan dalam novel ini easy going, ala-ala anak Jaksel yang campur kode, menurutku gak jadi masalah sih. Aku dapat banyak kosakata baru yang jarang aku dengar sebelumnya.

Bagian paling asyik saat membaca sebuah buku adalah stabiloin/highlight kalimat yang (menurutku) penting, warna-warni. Biar gak lupa. Hehe.

Okay, back to topic.

Kadang aku pengin jadi Farah, tapi kadang aku juga pengin banget jadi Retno. Sisi-sisi kesempurnaan (baca: kelebihan) mereka yang diceritakan oleh masing-masing penulis ini seakan membuatku tertarik seolah "Aku pengin banget jadi si ini (baca: Retno/Farah)."

Padahal, setiap tokoh yang diceritakan itu punya sisi terang dan gelapnya masing-masing. Punya kekurangan dan kelebihan. Punya momen sedih dan senangnya masing-masing. Ya namanya manusia, gak ada yang sempurna.

Sama halnya kayak cerita di novel ini. Awalnya, kupikir Ucup adalah tokoh yang paling menyedihkan (yes, sad-boy) karena secara narasi cerita yang dibawa seolah-olah menyoroti Francis sebagai tokoh yang paling utama dan paling dicintai oleh banyak wanita, jiakh.

Gimana enggak? Di halaman awal aja, isi pos-el yang dikirim udah tiba-tiba bahas seputar undangan pernikahan dari Francis dan Inez kepada tiga sahabatnya (Ucup, Farah, dan Retno) yang akhirnya membuat mereka bertiga datang jauh-jauh ke Barcelona dengan tujuan yang berbeda-beda. Meskipun tujuan utamanya menghadiri pernikahan Francis dan Inez, mulanya.

Tip-tip seputar traveling

Di dalam novel ini juga juga banyak tip-tip bermanfaat seputar hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan sebelum melakukan traveling ke beberapa negara di antaranya ialah sbb.

  1. Travel planning (plan, booking, dan finance);
  2. perangkat business travel (roll on cabin bag, ransel, dan shower kit);
  3. airport transit;
  4. wawasan seputar jetlag dan trik untuk mengatasinya;
  5. tip seputar transportasi dan akomodasi bagi backpacker;
  6. emergency landing and what things to do (meskipun ini gak ada sih wkwwk);
  7. tip-tip backpack (tas, isi, motif dan travel, dana, serta waktu untuk backpaking);
  8. food and medicals tips;
  9. security tips (paspor, uang, dan kartu kredit); dan
  10. networking sesama backpacker.

Ibn Battuta pernah bilang, “Traveling, it leaves you speechless, then turns you into storyteller.”

Masih banyak manfaat-manfaat lainnya yang aku dapat setelah baca buku ini terutama pada motif/tujuan seseorang melakukan traveling. Setelah baca buku ini pun, aku jadi teringat semasa kecil pernah menuliskan lis-lis impian untuk mengelilingi dunia. Terdengar imposibru, ya? WKWK. Gapapa, katanya kan kita harus gantungkan mimpi setinggi langit supaya kalaupun jatuh di antara bintang-bintang. Ya, kalo aku belum berkesempatan berkeliling dunia, minimal aku bisa keliling Indonesia. Amin, Ya Allah.

Satu kalimat yang aku ingat betul,

"The best school in life is travel" — Anita Raddick

Lalu disambung lagi dengan kalimat . . .

"dan cara terbaik untuk travel adalah dengan dilperlengkapi intelegensi dan pandangan ensiklopedis ” — (hlm. vi)

Selain itu, ada hal menarik yang menjadi pembeda antara seorang turis dan traveler adalah:

"Turis lebih diidentikkan dengan orang yang berkunjung ke suatu tempat dan berbelanja. Sementara, traveler lebih suka membeli pengalaman daripada belanja.” — (hlm. 161).

Nah, kalau kalian kira-kira tim yang mana, nih? Kalau aku sih maunya dua-duanya, ya.😝

Ini juga yang jadi alasan aku baca novel ini sampai gak ngerti cara berhentinya kecuali karena mataku udah sepet banget. Pas sadar, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Mata udah 5 watt dan harus segera tidur, padahal nanggung banget ke waktu subuh, ya, dan bacaannya kemarin udah 85%. Dikit lagi dan akhirnya aku lanjutkan di esok harinya.

Biasanya aku jarang banget baca novel. Pertama, ceritanya terlalu panjang. Kedua, aku gampang bosan. Ketiga, tergantung ceritanya sih (kalo seru dan momennya pas, aku bakal maraton sampai selesai).

Baiklah, mari kita lanjut lagi reviu singkat yang sebetulnya gak singkat dari novel ini, ehehehe.

Out of the box

Sejujurnya, aku agak kurang pas dengan akhir (ending) dari novel ini. Betul-betul out of the box. Agak gantung dan cukup membagongkan, ya, Gais. Hm, tapi karena aku belum menonton versi filmnya secara utuh, jadi aku gak tau perbandingan ceritanya kayak gimana.

Aku masih sebel sama karakternya Francis yang plin-plan karena seolah-olah mempermainkan hatinya Inez. Memang betul sih, soal perasaan (terlebih saat jatuh cinta sama orang) itu di luar kendali kita, tapi mbok ya kalau belum sepenuhnya move on dari Retno, Don’t use someone (Inez) to forgetting someone (Retno) lah. Kasihan, Inez. Di akhir cerita juga belum dijelaskan gimana kelanjutannya. Apakah si Francis jadi menjelaskan ke keluarganya Inez kalau mereka batal untuk menikah(?) Entahlah.

Poinnya bukan itu sih yang mau aku highlight. Aku jadi inget ucapannya Sisi, violis wanita Indonesia yang berbakat pernah mempertanyakan terkait hal ini ke Francis (hlm. 126),

“Apakah lo sudah benar-benar move on dari masa lalu lo?”

"You’re not in love, Cis. You just like the idea of falling in love with Inez."

"Membuat lo mengira bahwa elo sudah move on dari masa lalu lo."

Francis pun gak respon apa-apa setelah Sisi tanya gitu, tapi dia merasa apa yang dikatakannya benar semua. Yep, he just like the idea of falling in love with her (read: Inez).

Rumit memang kalau bahas soal cinta. Satu sisi, ya mau gimana, memang (konteksnya) beda dan gak bisa diganggu gugat. Kalau soal prinsip dan keyakinan, itu sudah jadi harga mati karena berkaitan dengan keimanan kita kepada-Nya.

We always question life, but can life question us? …” — (hlm. 116)

Kalimat ini juga terngiang-ngiang di kepalaku. Terlebih beberapa waktu ke belakang ini, aku baru belajar tentang sebuah ‘penerimaan’ bahwa yang aku harapkan, aku usahakan, aku doakan, belum berpihak ke aku. Kadang aku mempertanyakan hal-hal yang mungkin jawabannya sudah sangat amat jelas (sebetulnya), tapi aku masih kekeh untuk terus minta kejelasan akan hal itu, sampai di titik “Okay. I got it. Now, I’m relieved. I’m done. I’m done.”

Betul bahwa, Sometimes what you wish is not what you get” — (hlm. 164) and that’s life, isn’t it?

Refleksi

Kadang, kita berusaha keras agar diterima baik oleh orang lain. Semua usaha (effort) kita kerahkan agar seseorang (sekadar) bisa sadar dan melihat ke arah kita. Nah, hal ini aja (niatnya) kurang tepat, kasarnya ‘niatnya aja udah salah’. Gak seharusnya seperti itu. Gak perlu jadi orang lain supaya diterima orang lain, kan? Kita pun sadari bahwa gak semua hal di dunia ini berjalan sesuai apa yang kita mau dan kita butuhkan untuk saat ini. Entah belum, tertunda, atau digantikan dengan opsi lainnya oleh Yang Maha Kuasa.

Tugas kita adalah berjuang sampai limit kemampuan kita, semaksimal kita. Pada dasarnya, nasib dan takdir kita itu kita sendiri yang menentukan. Namun, bukan berarti gak ada keterlibatan-Nya. Tentu ada. Kita diberikan free will sekaligus akal untuk berpikir (sepaket dengan konsekuensi yang akan kita terima nantinya), ya, untuk apalagi kalau bukan untuk menapaki jalan-jalan kehidupan dan mengarungi kehidupan yang fana akan fatamorgana ini karena pada ujungnya — hanya kepada-Nya tempat kita kembali.

Sampai kita menemukan makna kata ‘cukup

Kadang, kita silau melihat kelebihan orang lain padahal tiap-tiap dari kita juga berpendar dengan caranya masing-masing. Sibuk memikirkan “Andai saja…”, “Kalau saja …”, dan kalimat pengandaian lainnya yang membuat diri kita ini semakin (merasa) kecil, menyedihkan, bahkan menganggap diri kita ini tidak layak di berbagai hal. Di sisi lain, tanpa kita sadari, mungkin di luar sana ada orang yang justru menginginkan hidup seperti kita. Who knows?🤷🏻‍♀️

Oleh sebab itu, perlunya kita belajar makna cukup. Namun, perlu digaris bawahi kata ‘cukup’ ini bukan lantas menjadikan kita asal-asalan, se-adanya, bahkan gak mengusahakan untuk hidup yang lebih baik (versinya masing-masing). No, you’re thinking of it the wrong way kalau seperti itu.

Aku teringat juga sama ucapannya Bang Zahid di dalam salah satu video YouTubenya, tapi aku lupa karena udah lama banget (19 Desember 2021), gini katanya,

“Ambil ilmunya, tapi jangan pengen kayak nge-copy hidupnya karena situasi dan kondisi masing-masing kita berbeda-beda. Kalo self-improve, aku self-improve karena diriku bukan karena pengin jadi lebih daripada orang lain.”

Aku nangkepnya, kita berjuang dengan ujian kita masing-masing. Berkompetisi dengan diri kita sendiri di hari kemarin, bukan dengan orang lain. Kalau pun ada orang lain yang lebih dari kita, jadikan itu sebagai motivasi dan inspirasi juga ilmunya bisa kita pelajari, bukan malah menumbuhkan keinginan meng-imitasi (plek-ketiplek seperti orang tsb) apalagi menumbuhkan rasa iri hati/dengki.

Omong-omong, ini pembahasannya jadi agak melebar, ya. Haha. Harusnya aku bagi jadi dua bagian sih. Gapapa deh. Semoga ada hal bermanfaat yang bisa diambil dari reviu ini.

Untuk tahu akhir kisahnya, jum kalian baca bukunya atau tonton filmnya, ya. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah baca reviu ini sampai akhir. Sampai jumpa di tulisan-tulisanku selanjutnya.👋🏻😃

Daftar Pustaka

Mulya, A., Setya, A., Hidajat, I., dan Yunita, N. (2018). TRAVELERS’ TALE — Belok Kanan, Barcelona!. Gagas Media: Jakarta Selatan

Comments

Popular Posts