Teman Kepalsuan

Teman Kepalsuan

Hai semesta, panggil aku asa
Orang bilang aku ini secercah cahaya
Dibalik imaji seluas angkasa raya
Berlatar keraguan dan persepsi dalam sukma

Semesta, tolong sampaikan pada dunia
Entah mengapa aku tak suka dengan hari bertambahnya usia
Bukan maksud tak bersyukur atas karunia
Bagaimana tidak, diri ini dituntut untuk bersikap dewasa
Bukan lagi tahap membaca
Tapi sudah selayaknya diimplementasikan dalam dunia nyata

Jalan hidup masih panjang, penuh liku dan berlubang
Dilematis akan pilihan, seakan terbang berhamburan
Tentang sebuah pandangan hidup ke depan
Membuat pikiran menjadi malang-melintang
Mencoba menyelaraskan akal dan perasaan
Semua berkompetisi ingin berada di garda terdepan

Perkara soal karier
Memang bukan hal yang mudah untuk ditetapkan
Butuh penghayatan dari hati yang paling dalam
Mencari kecocokan, meyelaraskan minat, bakat serta kepribadian
Melihat kondisi apa yang harus diprioritaskan
Rasanya kepalaku tak cukup ruang
Pundakku tak kuasa menahan beban
Kalbuku menjerit kesakitan
Tak jarang air mata menjadi pelampiasan
Sebagai teman kepalsuan





Filosofi Puisi :
Penulis mengambil judul “Teman Kepalsuan” pada event Lomba Puisidev dengan tema Asa Dalam Siksa dilatarbelakangi dari adanya sebuah pengalaman pribadi dari penulis. Jadi, dikala hari bertambahnya usia, aku justru tidak merasa bahagia, namun bukan berarti tidak bersyukur atas nikmat usia yang Allah berikan, bukan gitu maksudnya. Tapi, ada suatu hal yang rasanya sangat berat, karena memang dengan bertambahnya usia, otomatis tanggungjawab pun semakin besar, masalah, tantangan, rintangan, dan resiko atas pilihan yang akan dihadapi itu jauh lebih besar. Dari hal tersebut, akhirnya aku melukiskan sebuah kebingungan, persepsi, serta keraguan melalui puisi ini, yang mana bisa dibilang tentang sebuah Asa. Asa ini menjadi sebuah motivasi, spirit balik serta menjadi jawaban atas kebingungan yang selama ini aku rasakan. Asa digambarkan layaknnya secercah harapan dibalik imaji yang begitu mengudara, yang mana aku seperti berdialektika dengan diriku sendiri kamu masih punya harapan lhoo …kamu semakin dewasa, bukan lagi tahapnya membaca (melihat, mengamati kondisi lingkungan sekitar), namun sudah saatnya kamu mengimplementasikan apa harapan kamu, apa mimpi kamu ya dalam dunia nyata, ya harus beraksi gitu, gak berenti hanya di angan-angan aja tanpa perwujudan yang berarti. Mengingat bahwasanya jalan hidup masih panjang, jalan ga selalu lurus pasti penuh liku dan berlubang. Ditambah lagi ketika dilematis akan sebuah pilihan, juga terkadang antara akal dan perasaan, semuanya ingin dimengerti, semua ingin didahulukan, dan ingin berada di garda terdepan sehingga membuat pikiran menjadi malang melintang. Apalagi, saat ini konteksnya sedang meniti karir, yang mana butuh sekali keputusan yang tepat, dan itu gak mudah untuk ditetapkan. Butuh penghayatan, harus menyelaraskan antara minat, bakat serta kepribadian. Serta ada kondisi yang harus diprioritaskan. Dari segudang masalah itu, dihadapan banyak orang mungkin aku terlihat tegar seperti tak ada masalah, namun ketika sendirian, ada teman kepalsuan yakni air mata yang menjadi sebuah pelampiasan atas semua beban di kepala yang rasanya tak cukup ruang untuk menahan betapa besarnya, kekuatan untuk memikul masalah-masalah ini, serta ketangguhan hati demi menggapai asa ini. Walau asa dalam siksa, masih ada secercah cahaya, selagi kita mau berusaha menggapainya ☺

Comments

Popular Posts